Gubernur Diminta Patuh Pada Aturan

BPR
Dr M Firmansyah (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Polemik penggabungan (merger) 8 Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NTB menjadi satu dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) BPR NTB semakin memanas.

Hal itu disebabkan komposisi pengisian jajaran komisaris dan direksi diduga melanggar peraturan daerah (Perda) yang belum lama ini disahkan.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Mataram (Unram), Dr M Firmansyah menilai, polemik pengisian jajaran komisaris dan direksi bisa diakhiri jika Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi, selaku pemegang saham mayoritas mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Saya yakin kalau gubernur legowo mengikuti aturan yang ada, tidak akan jadi masalah,” ucapnya saat berada di gedung DPRD, Kamis kemarin (23/2).

[postingan number=3 tag=”bpr”]

Dijelaskan, mekanisme pengajuan komisaris dan direksi telah diatur dalam Undang- undang (UU) Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Bahkan, lebih rinci syarat pengisian komposisi tertuang dalam Perda Nomor 10 tahun 2016 tentang Penggabungan dan perubahan bentuk badan hukum PD BPR NTB menjadi PT BPR NTB.

Idealnya, lanjut Firman, sebelum gubernur menandatangani Surat Keputusan (SK) pejabat yang akan menjadi komisaris dan direksi, nama yang diusulan diserahkan terlebih dahulu ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB. “Memang tidak ada sih dalam aturan, tapi bagus kalau caranya begitu, sehingga nanti bisa dilakukan fit and proper test,” sarannya.

Polemik yang kini muncul saat ini karena nama-nama yang akan mengisi komposisi Komisaris dan direksi PT BPR, dinilai ada yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang perbankan. Hal itu membuat munculnya dugaan-dugaan negatif.

Baca Juga :  Jajaki Kerjasama, Gubernur Kunjungan ke Cina

Masalah tersebut menjadi semakin rumit, karena ada tercantum klausul dalam perda yang mengharuskan pejabat tersebut memiliki pengalaman di bidang perbankan dan atau lembaga jasa keuangan non perbankan. “Aturan itu kan harus dipatuhi oleh pemegang saham, kalau tidak maka akan timbul polemik ,” katanya.

Firman sendiri telah memberikan masukan kepada Biro Ekonomi Pemprov NTB agar pengisian formasi jabatan komisaris dan direksi di PT BPR NTB sebaiknya melibatkan OJK. “Persaingan dalam dunia perbankan itu sangat kuat, jadi yang harus mengisi jabatan komsiaris dan direksi tentunya yang memang memiliki kemampuan di bidang itu,” tandasnya.

Sementara itu, salah satu sumber terpercaya Radar Lombok mengungkapkan, masyarakat harus tahu bahwa akta pendirian PT BPR NTB telah dibuat setelah perda keluar beberapa waktu lalu. Bahkan SK untuk pengisian jabatan komisaris dan direksi juga telah ditandatangani oleh gubernur.

Dalam komposisi yang telah disepakati gubernur tersebut, banyak melanggar Perda Nomor 11 tahun 2016 tentang PT BPR, terutama apda pasal 18, 19, 23 dan pasal 24 yang mengatur tentang syarat-syarat bisa menjadi dewan komisaris dan juga direksi.

Sumber tersebut mengungkapkan, syarat menjadi komisaris maksimal berusia 58 tahun. Namun, ada pejabat yang masuk jadi komisaris atas nama Mastur dari Sumbawa usianya di atas 58 tahun. Ada juga nama Hapipi yang masuk menjadi komisaris. “Pak Manggaukang Karo Ekonomi juga namanya masuk kok jadi komisaris,” ungkap sang sumber.

Sementara untuk jajaran direksi, ada juga yang aneh. Seharusnya, apabila jumlah komisaris 4 orang maka jumlah direksi juga 4 orang. Namun persoalannya, komposisi saat ini terdapat 4 komisaris dan 5 direksi. “Tahu tidak kenapa begitu, agar orang yang berinisial J bisa masuk di jajaran direksi. Itu orangnya pejabat tinggi Pemprov kok,” bebernya.

Baca Juga :  Gubernur Minta Penjualan Saham Melalui Proses yang Baik

Lebih jauh diungkapkan, untuk jabatan direktur utama (Dirut) PT BPR NTB akan dijabat oleh Mutawalli. Kemudian anggota direksi ada nama-nama seperti Ihwan dan inisial J yang merupakan orangnya pejabat pemprov. Mutawalli sendiri saat ini menjabat sebagai Dirut PD BPR Lombok Timur. “Saya lupa nama-nama mereka, yang jelas ada 4 komisaris dan 5 direksi,” imbuhnya.

Saat ini, perubahan PD BPR menjadi PT BPR sebenarnya masih ada ganjalan. Pasalnya, Bupati Sumbawa dan Sumbawa Barat belum juga menandatangani dokumen persetujuan. “Banyak masalah sebenarnya, misalnya yang lain itu ada syarat jadi direksi harus pegawai BPR. Tapi ada yang bukan pegawai malah masuk,” katanya.

Selain soal bagi-bagi jabatan yang tidak sesuai aturan, Panitia Khusus (Pansus) BPR juga kini diterpa isu miring. Pansus diduga telah menerima uang pelican  untuk memperlancar pembahasan perda beberapa waktu lalu. Termasuk mengkondisikan pasal-pasal yang isinya menguntungkan pihak tertentu.

Terkait hal tersebut, Ketua Pansus tentang BPR, Johan Rosihan membantah keras. Dirinya sama sekali tidak pernah merasa ada uang pelican yang masuk ke tubuh pansus. “Kok bisa kami dianggap terima uang pelican, ini kan memang amanah undang-undang makanya kita prioritaskan dulu itu. Tidak usahlah ada pengalihan isu ke kami,” jawabnya santai.

Sementara itu Kepala Biro Ekonomi Pemprov NTB Manggaukang Raba yang dikonfirmasi belum memberikan tanggapan.  (zwr)

 

Komentar Anda