Pengalaman Suhardiono, Belasan Tahun Dampingi Penderita HIV/AIDS

PENDAMPING: Suhardiono, Salah satu pendamping penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi NTB. (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK )

Penderita HIV/AIDS terus bertambah dari hari ke hari.  Para pendamping berperan penting mendampingi  Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) agar bisa bertahan dan tidak menularkan penyakit yang dideritanya.


AZWAR ZAMHURI – MATARAM


Pendukung Sebaya atau yang lebih dikenal dengan nama pendamping adalah sebutan bagi aktivis kemanusiaan yang kesehariannya bergelut dengan penderita HIV/AIDS. Salah satunya adalah Suhardiono. Pria kelahiran Mataram, 6 Februari 1968 yang akrab disapa Nonok ini mulai aktif menyuarakan kesetaraan hak dan anti diskriminasi sejak tahun 2000 lalu. Rasa kemanusiaannya menjadi semangat tersendiri memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS.

Sejak  tahun 2005, Nonok dipercaya menjadi pendamping para penderita HIV/AIDS di Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT)  Rumah Sakit Umum Daerah  (RSUD) Provinsi NTB.  Klinik VCT  RSUP  merupakan salah satu tempat yang disediakan untuk konseling, tes dan persoalan lainnya tentang HIV/AIDS.

Melalui klinik tersebut, ia telah memiliki ratusan pasien. Ada yang telah meninggal dunia, banyak pula yang tetap bertahan hidup dengan harus tetap meminum obat. “Mereka harus tetap minum obat, kalau tidak maka akan sangat bahaya dan mengancam nyawa,”  katanya belum lama ini kepada Radar Lombok.

Menjadi seorang pendamping bukanlah hal mudah. Tidak semua orang akan mampu dan sanggup hari-harinya dilalui bersama para pengidap HIV/AIDS. Berbagai tantangan dan kendala selalu menyertai, terlebih lagi apabila pihak keluarga pasien tidak perduli.

[postingan number=3 tag=”feature”]

Sekitar 10 persen penderita HIV/AIDS dibenci oleh keluarganya. Mereka dianggap aib keluarga dan hanya akan membawa bencana. Jangankan ingin mengurus pengobatan, memberikan perhatian saja enggan. “Ada keluarganya yang benar-benar tidak peduli, mereka bilang itu hukuman atas perbuatan yang telah dilakukannya,” tutur Nonok.

Sikap keluarga menurut Nonok, sangatlah penting dalam proses pendampingan penderita HIV/AIDS. Jiwa dan semangat mereka telah hancur setelah mengetahui virus mematikan yang tiada obatnya itu hinggap di tubuh. Hari-harinya seolah dijalani sekedar menanti kematian, padahal apabila mau berobat maka hidupnya akan bisa panjang meskipun virus tersebut tidak bisa mati ataupun pergi.

Baca Juga :  Cerita JCH Lanjut Usia yang Berharap Memeluk Wali Kota Sebelum Berangkat Haji

Melakukan pendampingan sangat berat kepada penderita baru, jiwanya tergoncang dan hidup seperti tanpa harapan. Rasa percaya dirinya lenyap, HIV/AIDS seperti mengubur cita-citanya. “Tiga bulan pertama biasanya mereka frustasi, panik dan benar-benar butuh perhatian setiap saat,” ujarnya.

Saat itu, penderita HIV/AIDS benar-benar membutuhkan dukungan moril dari keluarga. Tanpa dukungan, hidupnya akan semakin tidak terarah. Namun pada kenyataannya, penyakit HIV/AIDS masih dipandang banyak orang sebagai aib yang harus disingkirkan jauh-jauh.

Disinilah tugas pendamping, tidak hanya mengontrol dan mengawasi dalam hal penyembuhan untuk taat minum obat. Lebih dari itu menumbuhkan rasa kepercayaan diri, itulah yang sangat penting. Seorang pendamping harus bisa menjadi orang tua, kakak, sahabat dan bisa membuat penderita HIV/AIDS merasa nyaman.

Penderita HIV/AIDS yang ditangani oleh Suhardiono terdiri dari berbagai jenis usia dan profesi. Mereka ada yang masih pelajar, mahasiswa, wiraswasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Ibu Rumah Tangga (IRT) dan lain-lain. “Malah ada juga saya tangani yang masih bayi, itu karena HIV keturunan,” ucapnya.

Menjadi seorang pendamping harus siap melayani pasien selama 24 jam. Meskipun pelayanan di VCT dari pukul 08.00 – 14.00 Wita, namun di luar jam kerja itu selalu harus meluangkan waktu lebih. Tidak jarang pendamping ditelpon atau  dihubungi sore hari bahkan pada malam hari.

Pendamping dianggap orang yang sangat dipercaya, banyak dari penderita HIV/AIDS baik dewasa maupun yang masih pelajar dan mahasiswa menghubungi pendamping hanya sekedar curhat persoalan pribadi. “Kadang mereka cerita dan sharing masalah pribadi, kita harus bisa menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan arahan-arahan,” katanya.

Nonok memiliki pengalaman sering ditelpon malam-malam dan diajak bertemu terutama oleh para penderita HIV/AIDS yang baru menyandang status tersebut. Mereka yang   tengah terguncang memang harus diberikan perhatian lebih, karena kalau tidak itu bisa merusak hidupnya.

Baca Juga :  Mengenal Masbuhin, Petani Pemakai Sistem Hidroponik di Mataram

Selama 10 tahun lebih menjadi pendamping, Nonok telah memakan asam garam hidup dengan para penderita penyakit mematikan itu. Seringkali juga ia merasa dikecewakan oleh  penderita, semua nasehat dan sarannya tidak dijalankan. “Sampai berbusa mulut kita ngomong, tapi tidak dijalankan. Rasanya perih hati kita,” ujar Nonok.

Tidak sedikit juga   yang saat ini  bisa hidup normal  karena tetap  mendengarkan dan taat pada pendamping. Obat tetap diminum sesuai aturan dan kepercayaan  dirinya sudah tinggi. “Disitu kebahagiaan yang  saya rasakan, puas banget rasanya bisa melihat mereka beraktivitas seperti orang normal lainnya,” ungkapnya.

Dalam setiap obrolan dengan penderita, Nonok selalu menekankan agar menjaga pola hidup sehat. Jangan sampai kembali melakukan hal-hal yang bisa membuat virus tersebut menyebar ke orang lain. Kepada ODHA yang telah berumah tangga, disarankan untuk tetap menggunakan kondom apabila ingin melakukan hubungan seksual.

Hal berbeda ia sampaikan kepada ODHA yang belum menikah, jangan sampai kembali melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Cukuplah penyakit tersebut sampai pada dirinya saja tanpa harus menambah ke orang lain, terlebih lagi kepada orang yang disayanginya. “Kebanyakan penyebab mereka ini kan karena gonta-ganti pasangan, makanya harapan saya jangan lagi seperti itu,” ucapnya.

Untuk terus memberikan semangat dan harapan hidup, salah satu strategi yang digunakan melalui komunitas Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Melalui komunitas tersebut, para penderita HIV/AIDS bisa berkumpul dan sharing bersama. Tempat pertemuan biasanya berpindah-pindah tergantung keinginan anggota komunitas.

Ditanya soal gaji atau pendapatan dari kerjaannya sebagai pendamping, Nonok hanya tersenyum saja. Selama ini ia mengaku apa yang dikerjakannya selama belasan tahun bukanlah tentang materi. Namun semua itu berdasarkan tuntutan nurani sebagai bentuk tanggung jawab sosial. “Saya jujur saja, sangat kecil kalau bicara pendapatan. Itu tidak cukup untuk hidup, tapi ini bukan tentang uang. Saya sangat puas dan bahagia kalau mereka merasakan bahagia, itu yang penting,” tutupnya.(*)

Komentar Anda