PR 169 RUU sampai 2019

JAKARTA – Realisasi target jangka menengah program legislasi nasional (2014–2019) yang disusun DPR diperkirakan meleset seperti halnya periode sebelumnya. Dengan sisa waktu yang tersedia, DPR belum mampu menyentuh 10 persen dari target prolegnas yang bakal diselesaikan dalam kurun lima tahun.

Prediksi itu disampaikan Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (24/1). Hanafi menyatakan, berdasar rumusan prolegnas jangka menengah yang ditetapkan DPR, terdapat 183 RUU yang harus diselesaikan selama lima tahun.  Memasuki 2017, baru ada 14 RUU target prolegnas yang sudah diselesaikan DPR bersama pemerintah.

’’Artinya, terdapat 169 RUU yang harus diselesaikan hingga 2019,’’ kata Hanafi. Dalam diskusi itu, hadir juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Arif Wibowo dan anggota Badan Legislasi DPR M. Misbakhun.

Menurut Hanafi, IPC memperkirakan DPR hanya memiliki waktu 152 hari untuk menyelesaikan 169 RUU itu. Pembagiannya adalah tujuh bulan masa sidang pada 2017 dan 2018 serta lima bulan masa sidang pada 2019. Semua itu sudah dipotong lima kali masa reses ditambah masa Pemilu 2019. ’’Berkaca pada kemampuan legislasi periode sebelumnya, maka kemungkinan target prolegnas ini tidak tercapai,’’ ujar Hanafi.

Baca Juga :  Dua Kafilah Loteng Melaju ke Nasional

Dia menilai banyak faktor yang mengakibatkan lambannya penuntasan target prolegnas. Penyebab pertama adalah persaingan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di awal masa DPR periode saat ini. Persaingan politik dua kubu itu membuat DPR vakum dalam membuat UU. ’’Di tahun pertama, hanya ada empat UU diselesaikan. Baru kemudian membaik di tahun kedua,’’ kata Hanafi.

[postingan number=3 tag=”dpr”]

Dari sisi transparansi, pembahasan RUU yang menjadi target prolegnas juga terbilang minim. Menurut Hanafi, sesuai dengan aturan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah wajib disebarluaskan agar mendapat masukan dari masyarakat.

Pembahasan setiap RUU juga harus dilengkapi dengan sosialisasi naskah singkat, draf RUU, dan naskah akademik. Namun, dalam praktiknya, hal itu minim dilakukan DPR. Dalam pembahasan 51 RUU di Prolegnas 2016, misalnya, DPR hanya mengumumkan 18 dokumen naskah akademik dan 19 dokumen draf RUU. ’’Selain transparansi yang rendah, manajemen pengelolaan informasi di DPR tidak terkelola dengan baik,’’ tutur Hanafi.

Menanggapi paparan IPC, Arif Wibowo menilai data yang disampaikan itu hanya bersifat kuantitatif. Menurut dia, dalam daftar prolegnas yang disusun, banyak kepentingan yang masuk sehingga pembahasannya memunculkan dinamika di internal alat kelengkapan dewan. ’’RUU yang termaktub adalah akomodasi kepentingan yang beragam, yang berpotensi tumpang-tindih, fragmented,’’ kata Arif.

Baca Juga :  LMND Kritik BPJS dan Dishubkominfo

Menurut Arif, badan legislasi sebaiknya memiliki fungsi untuk menolak RUU. Hal itulah yang membuat revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi penting. ’’Kewenangan baleg untuk menolak RUU seharusnya dimungkinkan jika memang RUU itu bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila,’’ tegasnya.

M. Misbakhun menambahkan, isu transparansi yang disampaikan IPC perlu dijelaskan. Menurut dia, dalam pembahasan legislasi, harus ditegaskan mana yang menjadi kewajiban sekretariat di DPR dan mana yang menjadi kewajiban dewan. ’’Masak persoalan supporting system harus dilimpahkan ke anggota dewan,’’ ujarnya.

Misbakhun menyatakan, baleg saat ini mendapat penambahan anggota. Namun, jika dilihat dari daftar hadir, mereka yang terlihat itu-itu saja. Menurut dia, persoalan pembahasan legislasi juga bergantung pada kemauan personal anggota dewan. ’’Saya terlibat membahas RUU Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), Tax Amnesty, PPKSK (Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan) selesai semua,’’ kata Misbakhun. (bay/c19/fat)

Komentar Anda