Disaat harga cabai meroket, petani cabai justru tidak mendapatkan keuntungan. Cabai yang ditanam petani rusak muda sebelum dipanen.
ZULFAHMI–MATARAM
Siang kemarin (10/1), cuaca di Kota Mataram tempatnya di Lingkungan Tegal Kelurahan Selagalas Kota Mataram cukup panas. Namun tidak menyurutkan niat petani cabai memilih satu persatu buah cabai yang bisa dimanfaatkan untuk dijual.
Aktivitas itulah yang dilakukan oleh petani cabai Sonhaji yang tinggal di Lingkungan Tegal Kelurahan Selagalas. Cabai yang ditanam di lahan sekitar 10 are hampir bisa dikatakan semuanya rusak total. Sejak kurang lebih 3 minggu lalu kondisi cabai yang hampir menjelang tua tiba-tiba rusak dan mengering akibat direndam air hujan beberapa waktu lalu.
" Cabai saya nasih muda sudah rusak sehingga tidak bisa dipanen sama sekali." ungkapnya kepada Radar Lombok kemarin.
Biasanya dalam situasi normal, 1 hektar lahan cabai yang ia tanami bisa menghasilkan sekitar 20 ton. Dia menjualnya dengan harga Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu per kilogram.
Sedangkan untuk harga keluar daerah biasanya para tengkulak menawarkan harga dari Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu perkilogram. Namun musim panen saat ini ia mengaku rugi total karena tidak bisa menikmati hasil kerjanya sejak 3 bulan lalu. Namun Aji mengaku sangat merugi karena disaat harga cabai melambung tinggi ia bersama dengan petani lain malah menderita kerugian. " Kami sangat rugi karena tidak bisa menikmati harga yang tinggi," tuturnya.
Ia menambahkan kenaikan harga cabai saat ini bukan karena faktor permainan pengepul ataupun pedagang besar. Tetapi ini murni karena faktor cuaca.
[postingan number=3 tag=”features”]
Harga cabai selalu flutuatif, kadang-kadang naik kadang-kadang turun. Saat panen, pihaknya tidak bisa memastikan apakah akan harga cabai setiap musim panen." Panen cabai biasanya dilakukan selama kurang lebih 1 bulan," tuturnya.
Dengan kondisi seperti ini, ia mengaku mengalami kerugian sampai jutaan rupiahUuntuk menekan kerugian Aji menjual cabai mudanya dengan dengan harga yang jauh lebih murah yakni dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu perkilogram. Dengan harga jual ini, Aji mengaku bisa mengurangi kerugian yang ia derita." Daripada rugi total lebih baik memilih cabai muda untuk kita jual," tutup nya.
Tingginya harga cabai di luar daerah membuat petani cabai Mataram memilih mengirim cabai mereka keluar daerah. Dampaknya, pasokan cabai di Kota Mataram menjadi berkurang sehingga harganyapun kian melangit.
Pemerintah Kota Mataram dalam hal ini Dinas Pertanian melakukan pendekatan kepada petani agar mereka mengurangi volume pengiriman. Namun sampai saat ini para kelompok tani masih enggan melaksanakan usulan dinas. “ Petani masih ngotot kirim keluar daerah,” kata H. Mutawali Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram kemarin.
Dinas pun menjanjikan petani “ganti rugi” berupa dana bantuan pembinaan. Jumlah kelompok tani ada 15 kelompok.
Dari jumlah kelompok tani tersebut, tidak semua mengirim cabai keluar daerah. Yang mengirim diakui hanya 3 kelompok, tetapi jumlahnya besar.
Mereka masih belum mau melaksanakan permintaan Pemkot lantaran tergiur dengan harga tinggi.” Kita akan terus melakukan pendekatan agar mereka mau mengurangi jumlah pengiriman,” ungkapnya.
Terpisah, Wakil Wali Kota Mataram H. Mohan Roliskana meminta Dinas Pertanian mengontrol pengiriman cabai keluar daerah.” Saya sudah minta agar pengiriman cabai keluar daerah bisa lebih dikontrol,” ungkapnya secara terpisah.
Pada dasarnya Pemkot tidak mempermasalahkan petani menjual hasil panen keluar daerah, namun pihaknya berharap agar jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga stok cabai di pasar lokal Mataram tetap terpenuhi.
Mohan berharap ada perubahan tingkat pengiriman. Untuk itu pihaknya meminta Dinas Pertanian untuk melakukan komunikasi dengan para petani.
Saat ini sedang dilakukan komunikasi agar tidak semuanya dilempar keluar. Saat ini hasil produksi cabai di Mataram sekitar 3 ton per hektar. Tetapi untuk musim panen saat ini berkurang sekitar 2 sampai 2,5 ton. Penurunannya disebabkan karena beberapa titik produksi cabai mengalami gagal panen.” Hasil produksi inipun harus didistribusikan ke semua pasar tradisional,” ungkapnya.
Ia menambahkan agar pengawasan dilakukan lebih ketat lagi. Selami ini memang tidak bisa dilakukan kontrol secara penuh karena keterbatasan. Selain itu ketika ada pengawasan para pedagang juga kadang beralasan kalau jumlah yang dikirim keluar daerah tidak terlalu besar.” Petani juga kadang ngakunya hanya mengirim sedikit, makanya kontrol harus diperkuat,” ujarnya.(*)